Minggu, 25 September 2011

Saudara-Saudariku, Mari Kita Berprestasi !


“Kesalahan terbesar yang dapat dibuat oleh seseorang adalah
tidak melakukan apa-apa”

(Maxwell)
Kalimat ini tertulis di atas salah satu kata pengantar karya ilmiah yang saya buat bersama rekan-rekan. Walaupun singkat, namun sepertinya Maxwell tahu betul bagaimana cara untuk memberikan penyadaran yang mendalam di hati kita. Karena memang benar, orang yang tak melakukan sesuatu yang seharusnya bisa dilakukannya saat di dunia adalah orang yang sangat merugi, dan lebih dari itu, telah menyianyiakan perannya sebagai khalifah di muka bumi.
Setiap manusia pasti memiliki cita-citanya masing, karena cita-cita adalah hal yang fitrah bagi manusia. Cita-cita itu suci, penuh harapan dan memiliki energi yang besar. Dia mampu membuat seseorang mengeluarkan kualitas terbaiknya dan meraih prestasi. Namun meskipun tiap manusia memiliki cita-cita, ada satu hal yang membedakan antara tiap manusia, yaitu seberapa besar usahanya dalam menggapai cita-cita dan prestasi tersebut. Ada yang hanya sekedar angan-angan, ada juga yang menggebu untuk mendapatkannya.
Berbicara tentang cita-cita memang tak lepas dari prestasi. Karena prestasi adalah buah keberhasilan dari usaha kita menggapai mimpi dan cita-cita. Prestasi sebenarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri seorang muslim, dari diri kita. Karena dalam Islam pun kita diperintahkan untuk selalu melaksanakan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Yang perlu diperhatikan adalah, prestasi yang sejati merupakan buah dari usaha yang istiqomah. Dia tidak muncul dengan dipaksakan, tetapi melalui proses yang ikhlas dan bertahap. Dia tidak muncul dari hati yang oportunis, tapi dari hati yang memiliki tujuan mulia.
Apakah sulit menjadi manusia yang berprestasi? Percayalah selalu bahwa,
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Al-Insyirah : 6)
Percayalah bahwa kita akan selalu mampu melaksanakannya. Buang segala pikiran negatif yang ada, dan ubah semuanya menjadi pikiran positif. Karena sesungguhnya, semuanya itu bersumber dari diri kita sendiri. Yakinilah bahwa masalah tak akan membiarkan kita tetap diam di tempat. Ia akan membawa kita maju seiring meningkatnya kualitas kita, atau bahkan mundur, seiring dengan keputusasaan kita. Apakah kita akan gagal atau berhasil, sekarang semuanya tergantung pada diri kita.. Untuk naik tingkat dan meraih prestasi, pasti memang akan ada banyak cobaan yang harus dilalui, namun, janganlah jadikan masalah itu melebur bersama diri kita. Letakkan masalah itu terpisah dari diri kita, dan yakinilah bahwa masalah itu bukan berasal dari diri kita. Contohnya, ketika kita mungkin mendapatkan hasil yang buruk saat ujian, jangan pernah sekalipun menganggap bahwa diri kitalah yang bermasalah. Letakkan ketidakbisaan itu di luar diri kita, dan identifikasi mengapa hal tersebut terjadi. Karena percayalah saudaraku, setiap manusia difitrahkan untuk berprestasi. Kita adalah makhluk yang paling sempurna, we are the miracles! Sehingga saat ini yang kita butuhkan adalah melepaskan mukjizat yang ada dalam diri kita..
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tak memperhatikan?”(Adz-Zariyaat : 21)
Lalu, yang menjadi pertanyaan, mengapa kita harus berprestasi? Bukankah dengan menjadi orang biasapun kita akan tetap bisa hidup bahagia? Lebih lagi, bukankah kita tetap akan bisa memasuki surgaNya? Naudzubillahi min Dzaliq! Pemikiran semacam inilah yang harus kita singkirkan jauh-jauh. Allah SWT telah menkaruniakan pada kita semua akal yang luar biasa. Bahkan dalam QS. At-Tin ayat 4 Allah berfirman bahwa kita, manusia, diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kita adalah makhluk terbaik! Bahkan melebihi malaikat, jin dan syaitan. Betapa berdosanya kita bila kita menyia-nyiakan potensi akal yang telah diberikanNya dan menyerah begitu saja oleh tubuh yang malas. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menyiratkan bahwa kita harus menjadi pribadi yang berprestasi, pribadi yang berusaha untuk terus mendapatkan yang terbaik di dunia dan akhirat. Seperti contohnya ayat berikut ini
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali Imron : 110)
Ayat ini sungguh menjelaskan bahwa kita adalah umat yang TERBAIK. Jadi, apa yang kita ragukan? Kemudian dalam ayat berikut ini,
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm : 39)
Jelas Allah SWT menyiratkan bahwa kita harus melakukan yang terbaik dalam setiap pekerjaan. Makna dari kedua ayat di atas dapat digabungkan, bahwa untuk menjadi umat yang TERBAIK, kita harus melakukan yang TERBAIK pula dalam setiap pekerjaan kita. Perhatikan, betapa agama ini mengajarkan kita untuk terus berprestasi. Betapa agama ini menyuruh kita untuk menjadi orang yang kuat untuk dunia dan akhirat. Ya, karena agama ini adalah agama para pejuang. Rasulullah SAW tak akan pernah berhasil membawa islam menuju kegemilangannya di masa lalu tanpa adanya perjuangan demi mendapatkan hasil terbaik dariNya. Mereka tak akan pernah memenangkan setiap perang yang jumlah musuh selalu jauh berkali lipat tanpa adanya semangat juang yang tinggi. Itulah yang harus sama-sama kita teladani dari Rasulullah dan para shahabat. Karena umat ini tak akan pernah maju tanpa adanya individu-individu yang kuat untuk berjuang dan berprestasi di jalanNya. Sesuatu yang dirasa hilang dari umat ini di zaman sekarang.
Karena itu, mulailah dari sekarang saudaraku! Impikan semua hal yang kau ingin raih di dunia ini, isi pikiranmu dengan fitrah yang telah diberikanNya. Jangan pernah membatasi cita-citamu, karena batasan hanya akan memutus harapan. Pikirkan saja semua hal yang ingin kau raih di dunia ini, penuhi otakmu dengan hal itu dan jadikan itu sebagai penyemangat di setiap langkah harimu… Yang terpenting, lakukan ini untuk masyarakat sekitarmu, untuk agamamu dan untuk Allah SWT, demi masa depan Islam yang gemilang. Insya Allah, Dia akan memberikan kita jalan walaupun kita tak menyangkanya. Karena itu, Saudara-Saudariku, mari kita berprestasi!
…Biarkan keinginan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kamu.
Dan sehabis itu yang kamu perlu hanya kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,
tangan yang akan berbuat lebing banyak dari biasanya,
mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,
leher yang akan lebih sering melihat ke atas.
Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja..
Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya…
Serta mulut yang akan selalu berdoa..”
Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan,
bukan Cuma seonggok daging yang hanya punya nama. 

Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi dan mengejarnya,
bukan seorang pemimpi saja,
bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan,
mengikuti arus dan kalah oleh keadaan.
Tapi seorang yang selalu percaya akan keajaiban mimpi, keajaiban cita-cita, dan keajaiban keyakinan manusia yang tak terkalkulasikan dengan angka berapa pun…
Dan kamu tak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.
(dikutip dengan sedikit perubahan dari “5 cm” karangan Donny Dhirgantoro)

Minggu, 11 September 2011

Model Masyarakat Muslim Ideal Berdasarkan Al-Qur’an


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali Imron : 110)

Apa yang ada di benak teman-teman bila mendengar sebuah frase yang berbunyi “masyarakat Muslim”? Akankah teman-teman berpandangan seperti orang-orang yang anti islam dengan menyandingkannya bersama frase “masyarakat tidak modern”, “teroris” atau “masyarakat penuh kekerasan” ? Mungkin saja, tapi bagaimana dengan frase “perdamaian”, “persamaan dan persaudaraan”, serta “masyarakat berakal budi” ? Tidak cocokkah itu disandingkan dengan “masyarakat muslim”?
Bila kita melihat kenyataan saat ini, memang sangat miris kita lihat bahwa banyak sekali masyarakat muslim yang hidup dalam kesengsaraan, penindasan dan kemiskinan. Kita ambil contoh Somalia dan Bangladesh, saat ini mereka hidup dalam kemiskinan yang sangat parah. Contoh lainnya negara-negara jazirah arab seperti yaman, mesir dan libya yang akhir-akhir ini sedang dilanda perang saudara dan pemberontakan. Negara-negara islam berkembang seperti Indonesia, Malaysia, dan Saudi Arabia, yang walaupun sudah agak lumayan namun nyatanya masih banyak sekali masalah internal yang berkaitan dengan kemiskinan, kesejahteraan, kepastian hukum dan pengembangan ilmu pengetahuan terjadi di negara-negara ini, sehingga levelnya masih sangat jauh dibandingkan negara-negara maju. Serta yang terakhir, dan yang terparah, adalah negara Palestina yang sampai saat ini masih tertindas oleh kebiadaban zionis Israel. Naudzubillahi min dzaliq, separah itukah nasib peradaban muslim saat ini? Yang menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa di negara muslim, yang masih banyak terdapat orang-orang yang taat beribadah kepada Allah SWT dan senantiasa meninggalkan laranganNya, justru tertinggal dari mereka yang hidup penuh kebebasan dan sangat jauh dari syariat Islam? Apa yang terjadi dengan umat islam saat ini? Padahal, logikanya sebuah agama yang benar harusnya dapat menciptakan peradaban yang maju. Terlebih lagi, seorang Rasulullah SAW telah diturunkan bagi umat agama ini dan menjadikannya rahmatan lil ‘alamin.
Bila kita kembali ke masa 14 abad yang lalu, sungguh pasti kita akan terkejut. Karena kita akan diperkenalkan dengan sebuah masyarakat terbaik yang pernah ada di bumi ini. Masyarakat yang mampu melakukan lompatan besar untuk membentuk sebuah tatanan baru yang berlandaskan pada Al-Qur’anul karim, sehingga mampu melakukan tranformasi radikal untuk merombak secara total nilai, simbol, dan struktur masyarakat yang telah berakar kuat pada masa itu. Ya, masyarakat itu adalah masyarakat Madinah, dimana Rasululah SAW berdakwah selama masa 10 tahun terakhir hidupnya. Masyarakat madinah saat itu berhasil menghasilkan suatu tatanan masyarakat yang benar-benar baru dan berbeda dari masyarakat jahiliyah yang mendominasi wilayah jazirah arab saat itu. Bentuk masyarakat Madinah inilah, yang kemudian ditransliterasikan menjadi “Masyarakat Madani‟, sebuah tipikal ideal mengenai konsepsi sebuah masyarakat Islam.
Eksistensi masyarakat Madinah masa Rasulullah SAW tidaklah serta merta terbentuk begitu saja. Lompatan besar yang berhasil dilakukan oleh masyarakat Madinah pada masa itu adalah sebuah proses panjang dari kemampuan mereka mengaplikasikan nilai dan simbol Islam secara bersamaan. Nilai Islam ini bersumber dari al-Qur’an dan perintah Nabi sebagai penjelasan nilai-nilai tersebut. Ya, itulah yang membedakan peradaban islam masa Rasulullah dan masa kini. Jelas sekali terlihat bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits benar-benar menjadi pedoman dan petunjuk hidup masyarakat Madinah masa Rasulullah SAW. Sedangkan zaman sekarang, masyarakat islam sudah tidak lagi 100% menjadikan kitab sucinya sendiri sebagai pedoman hidupnya. Padahal di dalam Al-Qur’an sudah terangkum semua hal yang dapat membuat kita berprestasi di dunia maupun akhirat. Kitab ini mengandung segala hal, mulai dari hubungan kita dengan Allah, hubungan kita sesama manusia, sampai ke ilmu pengetahuan yang masuk dalam tataran Kauniyah! Jadi, jelaslah bahwa yang membuat umat islam terpuruk saat ini bukanlah karena ajaran islamnya yang salah, melainkan karena umat islam itu sendiri yang sudah mulai meninggalkan ajaran agamanya dan kitab sucinya.
Sebenarnya seperti apa kriteria masyarakat muslim yang ideal berdasarkan Al-qur’an? Bagaimanakah sebenarnya masyarakat Madinah masa Rasulullah SAW itu? Hal ini jelas termaktub dalam QS. Ali Imron ayat 110 yang sudah saya tuliskan di pendahuluan tulisan ini.
Yang pertama adalah memiliki aqidah yang bersih kepada Allah SWT, dan tidak menyekutukannya dengan hal apapun. Hal iman ini menjadi penting untuk terwujudnya suatu masyarakat muslim yang ideal, karena hanya dengan keimanan yang bersihlah ridho Allah SWT akan terlimpah dalam masyarakat itu. Kita harus betul-betul menyadari bahwa ridho Allah SWT adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan kita. Karena ridho Allah SWT merupakan sebuah izin dari Yang Maha Kuasa agar kita dapat mendapatkan berkahNya. Saat ini banyak orang-orang yang mengaku bertuhankan Allah SWT, tapi masih memiliki tuhan-tuhan lainnya sebagai perantara. Atau, masih memiliki hal-hal lain yang dia agungkan melebihi keagungan Allah Azza wa Jalla. Atau, meyakini Allah SWT tapi masih saja merasa aman ketika berbuat maksiat, seakan-akan dia tidak menyadari keberadaan Allah SWT. Naudzubillahi min dzaliq.
Yang kedua adalah amar ma’ruf, atau mengajak kepada kebaikan. Sebagai sebuah sistem komunitas, sudah menjadi hal yang wajar dalam bermasyarakat kita berinteraksi dengan orang lain. Interaksi yang terjadi sangat beragam, mulai dari berjual beli, bersenda gurau, bekerja sama, dll. Dalam konteks masyarakat muslim ideal, interaksi yang terjadi lebih dari sekedar hal itu, interaksi yang terjadi pastinya harus lebih bermakna karena didasari oleh persaudaraan yang berlandaskan kesamaan akidah, ya, ukhuwah islamiyah. Hal inilah yang membuat perilaku amar ma’ruf menjadi ciri dari masyarakat muslim yang ideal. Karena tanpa kita sadari, perilaku amar ma’ruf memiliki energi yang sangat besar, bahkan sampai diulang-ulang sebanyak 32 kali dalam Al-Qur’an. Coba kita bayangkan, betapa indahnya hidup ini bila kita dikelilingi oleh orang-orang baik, terlebih lagi, saudara seiman kita sendiri, yang setiap waktunya selalu mengajak kita untuk berbuat kebaikan. Subhanallah.
Yang ketiga adalah nahi munkar, atau mencegah kepada kemunkaran. Sebuah masyarakat muslim yang ideal adalah sebuah masyarakat yang memiliki kontrol terhadap perbuatan-perbuatan maksiat yang terjadi di komunitasnya. Hal ini yang akan membuat kondisi umat menjadi kondusif. Perbuatan nahi munkar inilah yang jarang terlihat pada masa ini. Masyarakat muslim saat ini cenderung membiarkan saudaranya yang terjerumus dalam kubangan maksiat, padahal sudah menjadi kewajiban kita untuk saling mengingatkan sesama saudara muslim walaupun itu sulit.
Selain 3 karakteristik utama seperti yang dijelaskan dalam QS. Alim Imron ayat 110, sebuah komunitas muslim ideal juga harus memiliki karakteristik khusus yang sebenarnya turunan dari ketiga karakteristik utama yang di atas.
Yang pertama adalah memiliki kesalehan atau kebaikan pribadi dan sosial. Sebuah komunitas muslim yang ideal, memiliki masyarakat yang sudah sangat paham akan hal ini, sebuah perbedaan yang mencolok dengan umat muslim zaman ini. Kesalehan pribadi yang dimaksud tentunya adalah ketaatan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya dengan turut melekatkan perilaku-perilaku yang baik dalam diri mereka. Sedangkan kesalehan sosial adalah bagaimana individu dalam komunitas bisa saling berinteraksi dengan ukhuwah islamiyah yang berlandaskan akhlakul karimah. Disamping itu, kesalehan sosial inipun juga harus ditunjukkan kepada masyarakat non muslim yang juga ada dalam komunitas. Tak bisa kita pungkiri, saat ini kita hidup dalam masyarakat yang sangat pluralis, karena itulah sifat toleran (tasamuh) menjadi hal yang amat penting. Pada masa Rasulullah pun, masyarakat Madinah juga terdiri dari masyarakat yang pluralis. Mereka terdiri dari 8 suku bangsa arab dan 3 suku bangsa yahudi. Namun, dengan sikap saling toleransi yang baik, suku-suku tersebut dapat disatukan menjadi satu tatanan masyarakat yang rukun dan hidup berdampingan. Jadi, masyarakat muslim ideal haruslah mencintai kebaikan (Al-Mushlih). Al-Qur’an secara serius memperingati manusia untuk menjadi Al-Mushlih, sekaligus melarangnya menjadi Al-Mufsid. Masyarakat muslim ideal wajib menjadikan hidupnya sebagai marhamah dan terus menebar kerahmatan pada sesama.
Yang kedua adalah berprestasi dunia dan akhirat. Sebuah komunitas muslim bukanlah komunitas yang hanya berorientasikan pada kepentingan akhirat saja, tapi juga kepentingan dunia. Hal ini dijelaskan pada QS. Al-Baqarah : 143 yang menyatakan bahwa umat muslim adalah “ummatan washatan” atau seimbang antara dunia dan akhirat. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat berikut
”Jika telah shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah : 10)
Mengapa disini saya katakan “prestasi” ? karena setiap muslim dalam setiap kegiatannya haruslah bersungguh-sungguh untuk mendapatkan hasil terbaik. Allah SWT pun menyuruh kita untuk berbuat dengan yang terbaik, seperti yang termaktub dalam ayat berikut,
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm : 39)
Ingatlah saudaraku, agama ini bukanlah agama yang menjadikan pemeluknya menjadi cengeng, malah sebaliknya, agama ini adalah agama para pejuang. Sebagai muslim kita harus terus berjuang untuk senantiasa mendapatkan ridho Allah SWT baik di dunia maupun akhirat. Apapun cita-cita kita, berikanlah yang terbaik dalam setiap usaha yang kita tempuh. Bila kita bercita-cita menjadi seorang insinyur, bercita-citalah untuk menjadi insinyur kelas dunia, yang bisa memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Jangan berbuat sekedarnya, beribadahlah dan bekerjalah seakan-akan itu hal terakhir yang kita lakukan. Sekali lagi ingatlah baik-baik saudaraku, agama ini adalah agama para pejuang. Bila teman-teman belum merasa seperti itu, segeralah menjadi muslim yang tangguh dan berprestasi. karena hanya muslim yang tangguh dan berprestasi yang dapat membangun komunitas muslim yang maju.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai mahasiswa dalam berkontribusi membentuk masyarakat muslim yang ideal? Jawabannya, jadilah muslim yang seutuhnya! Karena individu yang pantas berada di dalam komunitas muslim yang ideal hanyalah para muslim sejati. Bagaimanakah seorang muslim sejati itu? Seorang muslim sejati setidaknya harus memiliki 10 ciri berikut ini :
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Dari uraian ini, jelaslah bahwa sebuah komunitas muslim yang ideal bukanlah hal yang mustahil diwujudkan. Karena, Allah SWT telah mentakdirkan bahwa umat agama ini adalah umat terbaik di muka bumi, lengkap dengan serentetan firman lainnya yang mendukung kita untuk menggapai hal tersebut. Semoga dengan ini kita bisa bersama-sama menjadi pribadi muslim yang sejati, sehingga pada akhirnya kita bisa menjadi bagian dari terbentuknya kembali suatu komunitas muslim ideal yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah di muka bumi ini.
Wallahu’alam bishowab
dari berbagai sumber

Kamis, 03 Februari 2011

How Can Asia Attain Energy Security Without Affecting Climate Change Due to Rapid Population and Economic Growth?

Why is this problem unsolvable?
In the era when Asia’s economic will grow up faster in the next decade, the energy demand undoubtedly will also increase to cover it. But, until now, many Asian countries still don’t have good established system to attain their energy security without gives harmful effect to the environment, due to the inbalance of economic growth and technology increase.
Problem identification
• The future of energy in Asia, it is predicted, will be very critical in the coming decades. This is because Asia’s energy demand will grow more rapidly than other regions, reflecting its high economic growth. Total primary energy demand in Asia will reach 9.0 Btoe in 2035, a 2.1-fold increase from 2008. Specifically, oil demand in Asia will increase from 1.4 Btoe in 2008 to 2.6 Btoe in 2035, showing a 1.9-fold increase from 2008. Gas demand in Asia will increase from 0.7 Btoe in 2008 to 1.9 Btoe in 2035, showing a 2.8-fold increase from 2008. Coal demand in Asia will increase from 2.0 Btoe in 2008 to 3.6 Btoe in 2035, exhibiting a price increase of 1.8 times from 2008. The world’s total primary energy demand will reach 17.8 billion tons of oil equivalent in 2035, a 1.6-fold increase from 2008. Totally, its share in the world primary energy demand will be 50% in 2035. It means, Asia will represent 72% of incremental growth of global energy demand toward 2035. At this rate, coal and oil will continue to maintain the dominant share in Asian energy demand toward 2035. But in fact, the outlook of energy supply in Asia is showing a great decline.
Figure 1. Outlook of Energy Supply in Some Countries
Source : Summary of Asian Energy Outlook (2011)


Due to this energy scarcity, it will also affect to the price of energy. From the outlook, we can see that the price will raise so much, so it will be a serious problem for Asia.

Figure 2. Outlook of Future Energy Prices
Source : Summary of Asian Energy outlook (2011)

• In some regional members, the options for energy efficiency improvement have not been well exploited, due to a variety of reasons. Some members are faced with financial constraints in attempting to apply advanced technologies, while other members provide energy at low prices due to resource availability or social considerations—and thus the public does not recognize the need for energy efficiency improvement.
• Beside the energy scarcity, the environmental problems will also emerge. At that rate, the world’s energy-related CO2 emission will reach 45 Gt in 2035, a 1.5-fold increase from 2008, and the share of Asia in the world’s CO2 emission will rise from 45% in 2008 to 56% in 2035. So it will be more than 75% of the CO2 emission increase from 2008 to 2035 will take place in Asia.
Problem Analysis
• The increase in energy demand in Asia emerges from the rapid economic growth in Asia. This growth is driven in part by population growth which will be high in the coming decades.
Figure 3. The Energy Demand in Some Countries
Source : Summary of Asian Energy Outlook (2011)


• The dependency of most of Asian countries to oil is very high. This is because the development of renewable energy in Asia is still slow. Asian countries still depend on their natural resources, while the eagerness to implement renewable energy is still low.
Regarding renewable energy implementation, here we can say that one of the problem root of this unsolvable problem is the slow progress in applying advanced energy technology, especially renewable energy technology and energy-efficient technology in Asia region. Energy efficiency is one of the most important things to maintain the energy security. One major barrier is low domestic energy prices. In some developing nations, prices for electricity, natural gas, gasoline, liquefied petroleum gas, and other energy products are maintained at low levels to ensure supply for low-income consumers. As a result, there is little incentive to improve energy advanced technology. Due to this financial constraint, developing members in Asia have had rather slow progress in applying advanced energy-efficient technologies. The knowledge transfer problem is also another other cause of this.
• Despite diversity, there is a general trend that the energy intensity inversely correlates with GDP per capita. Energy intensity of highly developed members tends to be lower than that of developing members. This implies that energy requirements to produce the same amount of GDP are lower for the developed members than the developing ones. In the developed members, the share of nonenergy-intensive sectors such as the commercial and service sectors may account for a larger part of GDP. Also, in these members, more money would be put into the development of advanced energy efficiency technologies on both the supply and demand sides. People in these members have a wider prevalence of energy efficiency appliances.
• Related to the statement above, GDP of some developing members is undervalued due to the weak national currencies of developing members relative to the US dollar. As a result, the calculated energy requirements per unit of GDP in some developing members are higher than those of developed members.
Case Study: China
With the PRC’s rapidly growing energy consumption in recent years, energy has become an important strategic issue concerning the PRC’s economic growth, social stability, and national security. Energy conservation and energy efficiency improvement are taken as effective measures to deal with the energy security issue as well as the worsening environmental problems. In the 11th Five-Year Plan started in 2006, sustainable development was made a high priority by the PRC government. In the 11th Five-Year Plan, the government has set the target of reducing energy consumption per unit of GDP by 20% from the 2005 level through 2010. However, according to a recent government announcement, the energy intensity had dropped by only 10.1% at the end of 2008 (1.79% in 2006, 4.04% in 2007, and 4.59% in 2008), which is less the expected improvement. The failure could be explained by the slow industrial restructuring and overheating growth of heavy industry as well as the ineffective implementation of energy conservation policies in some of the local governments.
Case Study: Southeast Asian Nations
The average energy intensity of ASEAN dropped by only 6.2% from 1990 to 2005. Over this period, the energy intensity of Southeast Asia stood at between 0.6 and 0.7, higher than the Asian Development Bank (ADB) average value of 0.3–0.4. The energy intensity of this sub-region is expected to be reduced to 0.4 by 2030. Due to low domestic energy prices, the improvement of energy efficiency has not achieved much progress in the Southeast Asian nations. However, faced with expanding domestic energy demand coupled with increasing international energy prices, ensuring energy security poses challenges to the members in Southeast Asia. In this regard, improving energy efficiency has recently become one of the primary issues for both the government and the private energy companies.

Figure 4. Energy Strategy in ASEAN Countries
Source : Energy Outlook of Asia & The Pacific (2009)



Reference
[1] Matassan, Zainal. A (2007) . ‘The ASEAN Energy Outlook with A Focus on Oil’ . Bangkok, Thailand : ASEAN Council on Petroleum
[2] The Institute of Energy Economics, Japan (2009) . ‘Energy Outlook for Asia and the Pacific’ . Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank





Biofuel Berbasis Alga : Secercah Cahaya di Balik Kemelut Dilema Energi vs Lingkungan

Dunia saat ini sedang mengalami ketergantungan yang amat tinggi terhadap bahan bakar fosil, dan parahnya juga diikuti oleh krisis terhadapnya. Memang, di zaman seperti sekarang, saat jumlah penduduk dunia mencapai 6.897.100.000 (United States Census Bureau, 2011), tak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan energi dunia menjadi sangatlah besar. Sampai saat ini, kita sebagai spesies yang paling cerdas di alam ini masih bisa bertahan karena kita disediakan sumber energi yang berlimpah dan mudah didapat dari Allah SWT, yaitu bahan bakar fosil yang berasal dari perut bumi.
Ya benar, dari sejak awal revolusi industri sampai sekarang pun, bahan bakar fosil masih menjadi primadona energi dunia. Sehingga kenyataannya dapat kita lihat saat ini, terdapat banyak sekali perusahaan eksplorasi minyak bumi yang tersebar di muka bumi, dan industri-industri semacam ini nyatanya banyak menjadi incaran. Dari fakta ini, terlihat betapa berharganya energi bagi kehidupan manusia ditinjau dari kepopulerannya tersebut. Tetapi, apakah kesenangan itu akan terus berlanjut? Apakah kita sebagai manusia tak pernah berpikir bahwa Allah SWT tentunya akan memberikan cobaan pada kita terkait hal ini? Terkait hal menyenangkan yang semua orang berharap bisa diteruskan sampai umur bumi dan seluruh alam semestanya berakhir? Pada akhirnya memang begitulah seharusnya, Allah SWT tak akan meninggalkan umatnya tanpa diuji, dan saat ini kita memang benar-benar sedang diuji mengenai penggunaan bahan bakar fosil ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bahan bakar fosil saat ini mengalami benturan disana-sini dan terdapat berbagai dilema pula yang mengikutinya. Masalah yang pertama adalah tentang ketersediannya. Dengan kebutuhan energi sebesar saat ini (Data terakhir yang dilansir oleh laporan penuh Statistical Report of World Energy untuk tahun 2009 menyatakan bahwa konsumsi energi dunia total saat itu setara dengan energi dari 11.164,3 juta ton minyak), bahan bakar fosil masih menjadi sumber utama untuk pemenuhannya. Memang, sumber bahan bakar fosil sangatlah melimpah, namun, karena bahan bakar fosil bukanlah bahan yang terbarukan, maka persediannya lama kelamaan bisa habis bila dikeruk berlebihan. Bahkan, BP Chief Executive Officer Tony Hayward, pada presentasinya dalam laporan Statistical Review of World Energy tahun 2009 memperkirakan persediaan minyak bumi saat ini hanya untuk 42 tahun lagi bila penggunaanya masih seperti sekarang, dan ditambah tinjauan bahwa penduduk dunia akan semakin bertambah di tahun-tahun mendatang. Saat ini, akibat dari masalah tersebut sudah banyak terlihat. Banyak negara yang tadinya memiliki potensi minyak menjadi negara importir minyak, seperti contohnya Indonesia. Indonesia hingga saat ini sangat tergantung dengaan bahan bakar fosil. Padahal, cadangan energi fosil Indonesia hanya tinggal 9 miliar barel lagi. Sementara peningkatan kebutuhan energi terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk indonesia. Tingkat rata-rata produksi minyak bumi di Indonesia sekitar 500 juta barel per tahun, sehingga dengan asumsi produksi energi dari bahan bakar fosil setiap tahun selalu sama, Indonesia hanya akan dapat bertahan hingga tahun 2025.
Hal ini tentunya menjadikan bahan bakar fosil sebagai sesuatu yang langka dan berharga. Kondisi ini semakin diperkeruh oleh negara-negara OPEC yang terkadang membuat kebijakan yang tidak menguntungkan bagi negara lainnya. Gejolak ini pada akhirnya menyebabkan harga minyak dunia seringkali mengalami kenaikan yang pada saat ini sedang pada kisaran 70-100$/barel. Keadaan perekonomian minyak bumi yang tak stabil dan cenderung mahal inilah yang pada akhirnya menyengsarakan negara berkembang layaknya Indonesia.
Masalah yang kedua dari penggunaan minyak bumi tentunya adalah permasalahan yang sudah populer, yaitu permasalahan lingkungan. Emisi yang dihasilkan bahan bakar fosil tak dipungkiri sangat berbahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup. Emisi yang dikeluarkannya bertanggung jawab atas meningkatnya emisi gas rumah kaca, karena bahan bakar fosil yang terdiri dari berantai-rantai hidrokarbon dan senyawa tambahan lainnya akan mengemisikan gas-gas rumah kaca seperti CO2 dan NOx. Hal ini semakin parah dari dekade ke dekade. Jika pada tahun 1950 emisi karbon sekitar 1,5 milyar metrik ton/tahun, tahun 2000, angkanya terus meningkat menjadi 7 milyar metrik/ ton dan pada tahun 2010 mencapai 10 milyar metrik ton/tahun. Tak heran bila sekarang suhu bumi menjadi meningkat drastis dibandingkan puluhan tahun silam. Dibawah ini adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara jumlah karbon dioksida yang ada di udara dengan peningkatan suhu yang dihasilkannya sejak akhir tahun 1800an sampai awal tahun 2000.


Gambar 1. Grafik Kenaikan Temperatur Global & Emisi Karbon Dioksida


Disamping masalah pemanasan global, emisi yang dikeluarkan dari bahan bakar fosil juga merupakan gas-gas yang amat berbahaya bagi kesehatan manusia dan makhluk lainnya. Salah satu yang sangat berbahaya adalah senyawaan timbal. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Yayasan Hijau Lestari, dan Universitas Muslim Indonesia Makassar pada tahun 2008, dengan responden 400 anak-anak SD di kota Bandung, diketahui bahwa senyawa timbal banyak terkandung dalam darah mereka dan hal ini berhubungan langsung dengan tingkat kecerdasan (IQ) anak-anak tersebut yang relatif rendah dibandingkan IQ rata-rata normal anak seusia mereka.
Yah, memang sudah separah inilah keadaannya. Berdasarkan hal ini, para ilmuwan sudah sejak lama mencari energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan, sehingga diharapkan dapat menggantikan, atau paling tidak mengurangi dominasi bahan bakar fosil. Beberapa contohnya adalah energi angin, energi air, energi matahari, energi panas bumi, bioenergi, dll. Namun sayangnya, teknologi ataupun efektivitas dari penggunaan sumber-sumber energi tersebut dirasa masih sangat kurang pada saat ini. Karena itulah, saat ini banyak dilakukan pengembangan terkait sumber-sumber energi terbarukan, dan yang saat ini menjadi perhatian untuk dikembangkan adalah bioenergi.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 2004 mendefinisikan bioenergi sebagai semua energi yang didapatkan dari biofuel. Sedangkan biofuel adalah segala macam bahan bakar yang diperoleh dari biomasa (makhluk hidup). Saat ini, biofuel diyakini sebagai salah satu cara alternatif terbaik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menggantikan bahan bakar fosil. Sejak awal pengembangannya sampai saat ini, sudah ada 3 generasi bioenergi yang dikenal di kalangan akademisi, bahkan diketahui sudah ada bioenergi generasi keempat yang pengembangannya masih sedikit sekali. Bioenergi generasi pertama adalah bioenergi berbasis makanan, dimana sumbernya mudah untuk diolah, seperti misalnya bioethanol dari singkong, jagung, dan ubi atau bioediesel dari kelapa sawit. Namun sayangnya bioenergi generasi ini terbentur dengan permasalahan energi vs pangan yang sudah banyak diisukan. Aplikasi bioenergi generasi ini juga membutuhkan lahan yang luas untuk penanaman sumber daya yang diperlukan, sehingga pada akhirnya kita malah harus menebangi hutan untuk membuka lahan.
Bioenergi generasi kedua adalah bioenergi berbasis bahan berselulosa seperti kayu dan limbah-limbah pertanian pasca panen. Berbeda dengan generasi pertama, bioenergi generasi kedua ini berbahan dasar bukan pangan, sehingga tak ada permasalahan energi vs pangan pada generasi ini. Bioenergi generasi ini sangat potensial dilakukan di Indonesia karena sebagai negara agraris di iklim tropis, sudah tentu akan banyak sekali tersedia sampah-sampah pertanian yang selama ini dibuang percuma. Dari data yang didapat, diketahui bahwa sampah dari lahan padi dan jagung saja mencapai 20 juta ton/tahun (Dr. Herri Susanto, 2010). Namun, masalah yang dihadapi oleh bioenergi generasi ini adalah kesulitan dan masih mahalnya proses yang dilakukan untuk mengolah bahan berselulosa ini, karena struktur polimernya jauh lebih panjang dibandingkan sumber-sumber bioenergi generasi pertama.
Kemudian, akhirnya dikembangkanlah bioenergi generasi ketiga. Bioenergi generasi ketiga, yang akan menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini, merupakan bioenergi berbasis alga. Apa itu alga? Masyarakat selama ini tidak begitu tahu tentang alga sehingga banyak yang tidak mengetahui potensi yang dikandungnya. Alga adalah organisme autotrof (produsen) layaknya tumbuhan, yang hidup di perairan laut atau tawar, namun tidak memiliki organ dengan perbedaan fungsi yang nyata. Alga bahkan dapat dianggap tidak memiliki “organ” seperti yang dimiliki tumbuhan pada umumnya seperti akar, batang dan daun, sehingga disebut juga dengan tanaman tingkat rendah. Secara sederhana, alga dikelompokkan dalam 2 kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu mikroalga atau alga yang berukuran renik, dan makroalga atau alga yang dapat dilihat dengan mata telanjang dan biasa kita sebut sebagai rumput laut. Saat ini, mikroalga lebih banyak diaplikasikan untuk produksi biofuel dibandingkan makroalga, disebabkan strukturnya yang lebih sederhana dan hasilnya yang juga lebih banyak. Pengembangannya sekarang banyak dilakukan dalam skala lab dan industri dengan menggunakan bioreaktor atau dapat pula dikembangbiakkan di dalam kolam terbuka (open pond).

Gambar 2. Kultivasi Mikroalga dalam Fotobioreaktor


Sekarang, mari kita melihat sama-sama potensi yang dimiliki mikroalga sehingga sumber daya yang satu ini layak digunakan sebagai bioenergi. Yang pertama tentunya adalah kandungan menakjubkan yang dikandungnya. Mikrolga memiliki kandungan minyak yang sangat tinggi, yaitu bisa mencapai 40-85% dari berat kering (Borowitzka, 1998), sehingga sangat berpotensi diolah menjadi biodiesel. Kandungan minyak ini jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan minyak pada kelapa sawit yang selama ini menjadi primadona biodiesel. Kandungan minyak kelapa sawit hanyalah 20% (www.popularmechanics.com). Disamping itu, kandungan karbohidrat dan protein dari mikroalga pun tak kalah kaya. Walaupun berukuran renik, mikroalga memiliki potensi kandungan yang melebihi tumbuhan-tumbuhan tinggi di daratan, hal ini karena mikroalga merupakan tumbuhan pendahulu (ancestor) dari tumbuhan-tumbuhan tingkat tinggi yang ada saat ini, sehingga potensi yang ada pada tumbuhan-tumbuhan tinggi tersebut kurang lebih dimiliki pula oleh mikroalga. Hal ini diperkuat dengan fakta yang disebutkan dalam sebuah artikel bahwa mikroalga adalah tumbuhan yang paling efektif proses fotosintesisnya. Hal ini karena mikroalga mampu mengoptimalkan sinar matahari dalam proses fotosintesis, walaupun sinar matahari terhalang oleh permukaan air (Michael Briggs, 2004). Kandungan-kandungan yang dimiliki alga ini nantinya dapat ditransformasi menjadi berbagai bentuk bioenergi seperti biodiesel, biometanol, bioethanol, biobuthanol, dsb.
Potensi kedua yang dimiliki alga adalah kemampuannya untuk tumbuh dengan cepat sehingga dapat menghasilkan produk minyak lebih banyak dibandingkan sumber lainnya dalam perbandingan yang sama. Dalam kondisi optimum, mikroalga dapat membelah beberapa kali dalam sehari dan dapat memproduksi paling sedikit produk minyak 15 kali lebih banyak perhektarnya dibandingkan produk minyak dari tanaman-tanaman seperti kelapa sawit, kacang kedelai atau jarak. Mikroalga dapat memproduksi 5000 sampai 50.000 galon perhektar pertahunnya. Bahkan, berdasarkan data perbandingannya dengan minyak bumi, ternyata potensi mikroalga masih lebih besar. Pada 1 hektar ladang minyak bumi, rata-rata hanya bisa disedot 0,83 barel minyak per hari, sampai kemudian habis dan tak berproduksi lagi. Sedangkan pada luas yang sama, budidaya mikroalga bisa menghasilkan 2 barel minyak perhari (Mujizat Kawaroe, 2008).
Setelah membahas kedua potensi yang dimiliki mikroalga, marilah kita membahas keuntungan-keuntungan apa saja yang akan kita dapat dengan mengolah sumberdaya ini dan mengapa teknologi biofuel generasi ketiga ini sangat layak diimplementasikan di Indonesia. Selain perolehan biofuel yang merupakan sumber energi ramah lingkungan, ada banyak keuntungan sampingan yang akan kita dapat dari pemanfaatan mikroalga. Keuntungan pertama adalah potensinya dalam menyerap karbon dioksida dan berbagai polutan lainnya. Peran alga sebagai produsen yang melakukan fotosintesis tentunya tak boleh kita lupakan. Saat melakukan fotosintesis, mikroalga membutuhkan sumber karbon anorganik yang berasal dari udara, dan sumber utamanya tentunya adalah karbon dioksida. Tak hanya itu, mikro alga juga memiliki potensi yang besar untuk menyerap gas nitrogen oksida (N2O) sebagai salah satu gas rumah kaca yang ternyata 296 kali lebih berbahaya dibandingkan karbon dioksida (U.S. Environmental Protection Agency, 2006). Dengan begitu, proses produksi alga secara tidak langsung membantu mengurangi kandungan gas-gas rumah kaca di atmosfer
Keuntungan yang kedua adalah dari segi lahan dan nutrien untuk mikroalga tumbuh. Telah disebutkan bahwa alga merupakan organisme perairan sehingga lahan yang dibutuhkan untuk mengembangbiakkannya adalah air. Tetapi, air yang mereka butuhkan tidaklah selalu air bersih, karena mereka bisa tumbuh bahkan di air yang tercemar sekalipun. Saat ini, sudah ada banyak penelitian untuk membiakkan mikroalga di air limbah organik. Di Indonesia, penelitian sejenis yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan limbah industri tahu. Disinilah kelebihan mikroalga dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi, mereka bisa hidup dengan menggunakan air tercemar, dan karena kesehariannya memang tumbuh di air, mereka tak memerlukan asupan air setiap hari layaknya tumbuhan tingkat tinggi. Disamping itu, pembiakkan alga juga tidak membutuhkan tanah untuk tumbuh. Karenanya tak diperlukan proses pembukaan lahan hutan untuk budidaya alga seperti halnya tanaman lain. Artinya, budidaya alga tak akan berdampak buruk bagi ekosistem hutan yang selama ini juga menjadi salah satu kontroversi penggunaan bioenergi, seperti yang terjadi pada kasus lahan kelapa sawit. Dikarenakan mereka juga tidak membutuhkan herbisida dan pestisida (Brennan and Owende 2010), menjadikan alga sebagai sumberdaya potensial untuk produksi biofuel yang tidak akan merusak lingkungan. Menakjubkan bukan? Selama ini alga tidak banyak dilirik sebagai sumber daya, sehingga potensi-potensi tersembunyinya semacam ini belum banyak diketahui masyarakat.
Keuntungan yang ketiga adalah potensinya yang bisa digunakan dalam berbagai industri. Jadi, setelah biomasa mikroalga diambil minyaknya untuk dijadikan biodiesel, ampas alga yang tersisa masih bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal. Kandungan karbohidratnya yang tinggi bisa dimanfaatkan menjadi biofuel jenis lain, yaitu bioethanol. Sedangkan kandungan protein dan nutrien lainnya yang tak kalah tinggi bisa diolah menjadi produk makanan, makanan suplemen, obat-obatan, bahan tambahan industri, kosmetik, makanan ternak dan pupuk. Sehingga, industrialisasi mikrolga sebagai biofuel tak akan menyisakan limbah yang berarti, karena semua bagian alga tak ada yang terbuang percuma (FAO, 2010). Dengan begitu, tentunya bila kita bisa secara paralel membuat produk-produk samping selain biofuel dari alga, keseluruhan prosesnya akan menjadi lebih ekonomis, tak bergantung dengan bahan bakar fosil, dan berpotensi menghasilkan lapangan-lapangan pekerjaan baru, dengan efek positif pada keseluruhan aspek keberlanjutannya (Mata, Martins et al. 2010).
Nah, kita sudah sama-sama melihat kehebatan dan potensi yang dimiliki teman kecil kita ini. sekarang pertanyaanya, sejauh mana teknologi mutakhir ini bisa diimplementasikan di Indonesia? Untuk urusan potensi teknologi, Indonesia memang masih kalah jauh dibandingkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan banyak dari negara Eropa dalam hal teknologi pembiakkan mikroalga. Namun, yang perlu kita ingat adalah, Indonesia memiliki sumberdaya mikroalga yang sangat kaya mengingat kita merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati nomor 2 setelah brazil seperti yang tertulis dalam buku Conservation International. Ada banyak sekali jenis mikroalga yang bisa dikembangkan menjadi biofuel di Indonesia, contohnya dari genus chlorella, scenedesmus, spirullina, anabaena dan masih banyak lagi. Disamping itu, Indonesia memiliki intensitas cahaya matahari yang sangat tinggi mengingat kita merupakan negara tropis yang terletak di tengah-tengah khatulistiwa. Bahkan, seorang petinggi Iran pernah berkata pada Direktur Puslit Bioteknologi LIPI, Prof Dr Bambang Prasetyo dalam suatu kesempatan bahwa Indonesia memiliki potensi fotosintesis tiga kali lipat dibandingkan di Iran (www.biotek.lipi.go.id). Dengan begitu, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang berpotensi memproduksi mikroalga-mikroalga tersebut dalam skala besar untuk pemenuhan target biofuel nasional. Rintangan yang menghadang di depan mata untuk mencapai teknologi ini adalah biaya produksinya yang masih mahal. Selain itu, negara ini tentunya juga masih harus melakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan proses pembiakkan mikroalga yang paling efektif. Tantangan-tantangan tersebut memang saat ini terasa berat, tapi bukan berarti teknologi baru yang sangat potensial ini bisa disia-siakan begitu saja. Sekali kita bisa menguasai teknologi ini, akan banyak permasalahan bangsa ini yang terselesaikan, terutama krisis energi dan krisis lingkungan. Ibaratnya, apalah yang bisa dilakukan seorang bayi yang baru lahir? Bila belum apa-apa kita sudah menyerah membesarkan bayi tersebut, kita tak akan pernah melihat keajaiban apa yang bisa dilakukannya di masa mendatang. So, are you ready?
Sumber :