Selasa, 01 Juni 2010

Pilih Daging Atau Jamur?




Kita sadari atau tidak, istilah global warming atau pemanasan global akhir-akhir ini menjadi istilah yang sangat akrab di telinga kita. Baik mahasiswa, orang dewasa sampai anak-anak pun sepertinya sudah tidak asing mendengar istilah ini. Bahkan, isu pemanasan global ini sudah menjadi layaknya tren tersendiri di masyarakat. Namun diluar hal itu, sayangnya pengetahuan masyarakat mengenai hal ini baru di kulitnya saja. Masyarakat belum pernah diajak berpikir lebih mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemanasan global saat ini.
Berkaitan dengan hal diatas, pasti masyarakat akan sangat bingung bila menemukan kalimat berikut ini,
“seperlima gas rumah kaca penyebab global warming berasal dari industri peternakan”
Mungkin anda yang membaca pun juga sedang merasa bingung, tapi percaya atau tidak, pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah memperkirakan bahwa pemeliharaan ternak untuk produksi daging dan susu bertanggung jawab terhadap 18% pemanasan global, lebih besar dibandingkan potensi pemanasan global dari gabungan seluruh emisi kendaraan bermotor di dunia. Tidak hanya sampai disitu, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Robert Goodland, mantan penasihat utama bidang lingkungan untuk Bank Dunia, dan staf riset Bank Dunia Jeff Anhang, membuktikan bahwa industri peternakan ternyata bertanggung jawab jauh lebih besar dibandingkan hasil yang diungkapkan FAO terhadap pemanasan global. Mereka merivisi bahwa keseluruhan industri peternakan harusnya bertanggung jawab sampai 51% dari keseluruhan pemanasan global. Menurut mereka, FAO belum meninjau keseluruhan rantai yang ada pada industri peternakan.
Tapi, mengapa bisa begitu? Apa yang salah dari industri peternakan? Bagi anda yang bingung, siap-siap terkejut. Ternyata, gas-gas rumah kaca diemisikan selama hampir setiap proses produksi daging, mulai dari penernakan sampai proses penyimpanan dan distribusinya. Yang paling jelas terlihat adalah saat penernakannya, dimana hewan-hewan ternak tersebut pastinya akan mengeluarkan kotoran. Apa masalahnya? Kotoran hewan ternak tersebut dapat dengan mudahnya melepaskan gas metana ke udara hasil dari fermentasi bakteri metanogen yang ada pada kotoran ternak tersebut. Gas metana merupakan salah satu dari gas penyebab rumah kaca yang memiliki potensi penyebab pemanasan global 72 kali lebih besar dibandingkan CO2 (Professor Barry Brook, University of Adelaide, 2007)¬. Diperkirakan, jumlah metana yang dihasilkan dari peternakan mencapai 37% dari total emisi metana dunia (PBB, 2009). Dengan tingkat emisi metana global sebesar itu, peternakan merupakan sumber metana tunggal terbesar yang ditimbulkan oleh manusia.
Sudah dikatakan sebelumnya, bukan hanya kegiatan penernakannya saja yang berkontribusi menyumbangkan potensi pemanasan global, tapi juga kegiatan pendukung lainnya. Contohnya, penyimpanan daging menggunakan jutaan unit kulkas dan pendistribusiannya yang melibatkan jutaan kendaraan bermotor tentunya tidak akan berjalan tanpa adanya suplai miliaran joule energi, yang pada akhirnya berdampak terhadap produksi miliaran ton gas rumah kaca. Sebagai tambahan, emisi yang dikeluarkan oleh kulkas dan kendaraan-kendaraan bermotor tersebut pun juga tak bisa dianggap remeh.
Sebenarnya hal ini tak akan begitu serius bila jumlah hewan ternak dunia tidak seberlebihan seperti sekarang. Saat ini diketahui bahwa jumlah hewan ternak yang ada mencapai 60 miliar, hampir 10 kali lipat dari jumlah manusia. Dengan jumlah sebanyak itu, tentunya pakan dan lahan yang harus kita sediakan untuk kebutuhan hewan ternak tersebut akan menembus angka yang luar biasa. Rasanya sulit dibayangkan berapa hektar hutan yang harus dibabat agar kita bisa mendapatkan lahan untuk peternakan dan ladang untuk menanam pangan ternak. Sebagai gambaran, kita dapat melihat Australia, dari seratus juta hektar hutan di Australia yang telah ditebang, sekitar 70 juta dari itu digunakan untuk peternakan hewan, sedangkan lahan yang ditinggali oleh manusia hanya sekitar 2 juta hektar (Russell, 2010). Tak bisa dibayangkan, manusia menukar jutaan hektar pohon, yang notabene merupakan ‘pahlawan lingkungan’, dengan jutaan hewan ternak yang malah memberikan dampak serius bagi lingkungan, hanya untuk keegoisannya.
Hal ini memang mencengangkan, tetapi bukan berarti kita bisa menyalahkan kegiatan peternakan atau bahkan si hewan ternaknya itu sendiri. Kegiatan peternakan itu menjadi sangat besar, karena permintaan akan daging saat ini memang sangatlah banyak. Masyarakat dunia saat ini sangat konsumtif terhadap daging, dan sudah sepatutnyalah kita sadar bahwa ternyata perilaku ini telah membuat permasalahan pemanasan global menjadi semakin parah. Bahkan, bisa jadi kita adalah bagian dari orang-orang konsumtif yang harus turut bertanggung jawab atas semakin parahnya bencana ini.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Cara yang paling mudah untuk mengatasi hal ini tentunya dengan mengurangi konsumsi daging sesuai dengan amanat KTT Bumi ke-10 di Norwegia. Gagasan awal yang muncul adalah dengan mengubah pola hidup menjadi vegetarian. Namun sepertinya, cara ini tidak begitu disukai masyarakat karena daging memang telah menjadi lauk yang populer dengan rasa yang enak di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, tak dapat dipungkiri, kandungan protein dalam daging sangatlah bermanfaat bagi pertumbuhan dan metabolisme tubuh, serta seringkali terjadi defisiensi nutrien yang dialami oleh vegetarian karena tak mendapatkan nutrien yang bisa didapat dari daging. Karena itulah, bila kita ingin mengurangi perilaku konsumtif masyarakat terhadap daging, kita harus menawarkan masyarakat bahan makanan lain yang bisa menyetarai daging.
Saat ini, salah satu gagasan yang muncul adalah dengan mengonsumsi jamur sebagai penggantinya. Mengapa jamur? Dilihat dari berbagai sudut pandang, ternyata jamur memiliki berbagai potensi yang dapat mengalahkan dominasi daging di tengah-tengah masyarakat. Yang paling utama tentunya adalah karena jamur bisa diolah menjadi hidangan yang menyerupai daging. Ada banyak contoh-contoh restoran yang menyajikan olahan jamur dengan tampilan layaknya daging, dan masyarakat pun meresponnya dengan positif. Dengan rasa yang tidak kalah enak sekaligus dengan harga yang relatif lebih murah, tentunya tidak aneh bila jamur akan mendapat tempat di hati masyarakat menggantikan dominasi daging.
Semua hal tentang jamur bukan hanya rasa dan harganya, tapi juga kandungan nutriennya. Telah diketahui, meskipun jamur mengandung protein dalam jumlah kecil, tetapi jumlahnya masih tetap mencukupi kebutuhan. Bahkan, jamur masih mendapat nilai tambah dari nutrien-nutrien lainnya yang tidak dimiliki daging. Jamur mengandung beragam vitamin seperti vitamin B1 (thiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin), B7 (biotin), B11 (asam folat), dan vitamin B12 (sianokobalamin) (Ingram, 2002). Tidak hanya itu, jamur juga mengandung serat (tentunya tidak dimiliki daging) dan beragam asam amino yang dibutuhkan tubuh. Selain itu, jamur juga mengandung letinan yang dengan ajaib dapat menurunkan gula dan kolesterol darah, sehingga tak seperti daging, jamur sangat aman dikonsumsi bagi para penderita diabetes mellitus dan jantung. Tak kalah pula dengan sayur dan buah berantioksidan, jamur juga mengandung asam ganodermat dan ganodermin yang berfungsi sebagai antivirus dan antikanker. Kelebihan lain jamur adalah kandungan gizinya akan tetap terpelihara meskipun sudah dimasak, tidak seperti daging. Dengan begitu, jelaslah bahwa jamur merupakan makanan yang lebih sehat melebihi daging.
Ditambah lagi, Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi yang sangat besar akan jamur. Waktu produksi jamur budidaya di Indonesia dapat secara terus menerus, karena negara ini tidak mengenal 4 musim seperti negara lain, dan hampir berbagai jenis jamur dapat ditumbuhkan di Indonesia. Rasa jamur yang tak kalah enak dengan daging, harganya yang relatif murah, budidayanya yang mudah dan kandungan nutriennya yang luar biasa menjadikan jamur sebagai bahan makanan yang benar-benar patut diperhitungkan sebagai makanan pengganti daging. Kendala yang ada saat ini adalah jamur masih belum menjadi makanan yang populer di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Walaupun mulai banyak kita lihat bisnis makanan berbasis jamur, namun sampai saat ini, produk-produk makanan tersebut kebanyakan masih berupa makanan ringan sehingga tetap belum menjadi mayoritas di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, marilah kita mulai dari sekarang membudayakan makan jamur sebagai salah satu cara untuk mengurangi konsumsi daging demi berkurangnya pemanasan global. Paling tidak, mulailah dari diri kita sendiri. Dengan begitu, tak hanya kita yang mendapatkan manfaat dari jamur, tapi juga lingkungan hidup dan orang lain.

Sumber :