Dunia saat ini sedang mengalami ketergantungan yang amat tinggi terhadap bahan bakar fosil, dan parahnya juga diikuti oleh krisis terhadapnya. Memang, di zaman seperti sekarang, saat jumlah penduduk dunia mencapai 6.897.100.000 (United States Census Bureau, 2011), tak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan energi dunia menjadi sangatlah besar. Sampai saat ini, kita sebagai spesies yang paling cerdas di alam ini masih bisa bertahan karena kita disediakan sumber energi yang berlimpah dan mudah didapat dari Allah SWT, yaitu bahan bakar fosil yang berasal dari perut bumi.
Ya benar, dari sejak awal revolusi industri sampai sekarang pun, bahan bakar fosil masih menjadi primadona energi dunia. Sehingga kenyataannya dapat kita lihat saat ini, terdapat banyak sekali perusahaan eksplorasi minyak bumi yang tersebar di muka bumi, dan industri-industri semacam ini nyatanya banyak menjadi incaran. Dari fakta ini, terlihat betapa berharganya energi bagi kehidupan manusia ditinjau dari kepopulerannya tersebut. Tetapi, apakah kesenangan itu akan terus berlanjut? Apakah kita sebagai manusia tak pernah berpikir bahwa Allah SWT tentunya akan memberikan cobaan pada kita terkait hal ini? Terkait hal menyenangkan yang semua orang berharap bisa diteruskan sampai umur bumi dan seluruh alam semestanya berakhir? Pada akhirnya memang begitulah seharusnya, Allah SWT tak akan meninggalkan umatnya tanpa diuji, dan saat ini kita memang benar-benar sedang diuji mengenai penggunaan bahan bakar fosil ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bahan bakar fosil saat ini mengalami benturan disana-sini dan terdapat berbagai dilema pula yang mengikutinya. Masalah yang pertama adalah tentang ketersediannya. Dengan kebutuhan energi sebesar saat ini (Data terakhir yang dilansir oleh laporan penuh Statistical Report of World Energy untuk tahun 2009 menyatakan bahwa konsumsi energi dunia total saat itu setara dengan energi dari 11.164,3 juta ton minyak), bahan bakar fosil masih menjadi sumber utama untuk pemenuhannya. Memang, sumber bahan bakar fosil sangatlah melimpah, namun, karena bahan bakar fosil bukanlah bahan yang terbarukan, maka persediannya lama kelamaan bisa habis bila dikeruk berlebihan. Bahkan, BP Chief Executive Officer Tony Hayward, pada presentasinya dalam laporan Statistical Review of World Energy tahun 2009 memperkirakan persediaan minyak bumi saat ini hanya untuk 42 tahun lagi bila penggunaanya masih seperti sekarang, dan ditambah tinjauan bahwa penduduk dunia akan semakin bertambah di tahun-tahun mendatang. Saat ini, akibat dari masalah tersebut sudah banyak terlihat. Banyak negara yang tadinya memiliki potensi minyak menjadi negara importir minyak, seperti contohnya Indonesia. Indonesia hingga saat ini sangat tergantung dengaan bahan bakar fosil. Padahal, cadangan energi fosil Indonesia hanya tinggal 9 miliar barel lagi. Sementara peningkatan kebutuhan energi terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk indonesia. Tingkat rata-rata produksi minyak bumi di Indonesia sekitar 500 juta barel per tahun, sehingga dengan asumsi produksi energi dari bahan bakar fosil setiap tahun selalu sama, Indonesia hanya akan dapat bertahan hingga tahun 2025.
Hal ini tentunya menjadikan bahan bakar fosil sebagai sesuatu yang langka dan berharga. Kondisi ini semakin diperkeruh oleh negara-negara OPEC yang terkadang membuat kebijakan yang tidak menguntungkan bagi negara lainnya. Gejolak ini pada akhirnya menyebabkan harga minyak dunia seringkali mengalami kenaikan yang pada saat ini sedang pada kisaran 70-100$/barel. Keadaan perekonomian minyak bumi yang tak stabil dan cenderung mahal inilah yang pada akhirnya menyengsarakan negara berkembang layaknya Indonesia.
Masalah yang kedua dari penggunaan minyak bumi tentunya adalah permasalahan yang sudah populer, yaitu permasalahan lingkungan. Emisi yang dihasilkan bahan bakar fosil tak dipungkiri sangat berbahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup. Emisi yang dikeluarkannya bertanggung jawab atas meningkatnya emisi gas rumah kaca, karena bahan bakar fosil yang terdiri dari berantai-rantai hidrokarbon dan senyawa tambahan lainnya akan mengemisikan gas-gas rumah kaca seperti CO2 dan NOx. Hal ini semakin parah dari dekade ke dekade. Jika pada tahun 1950 emisi karbon sekitar 1,5 milyar metrik ton/tahun, tahun 2000, angkanya terus meningkat menjadi 7 milyar metrik/ ton dan pada tahun 2010 mencapai 10 milyar metrik ton/tahun. Tak heran bila sekarang suhu bumi menjadi meningkat drastis dibandingkan puluhan tahun silam. Dibawah ini adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara jumlah karbon dioksida yang ada di udara dengan peningkatan suhu yang dihasilkannya sejak akhir tahun 1800an sampai awal tahun 2000.
 |
Gambar 1. Grafik Kenaikan Temperatur Global & Emisi Karbon Dioksida |
Disamping masalah pemanasan global, emisi yang dikeluarkan dari bahan bakar fosil juga merupakan gas-gas yang amat berbahaya bagi kesehatan manusia dan makhluk lainnya. Salah satu yang sangat berbahaya adalah senyawaan timbal. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Yayasan Hijau Lestari, dan Universitas Muslim Indonesia Makassar pada tahun 2008, dengan responden 400 anak-anak SD di kota Bandung, diketahui bahwa senyawa timbal banyak terkandung dalam darah mereka dan hal ini berhubungan langsung dengan tingkat kecerdasan (IQ) anak-anak tersebut yang relatif rendah dibandingkan IQ rata-rata normal anak seusia mereka.
Yah, memang sudah separah inilah keadaannya. Berdasarkan hal ini, para ilmuwan sudah sejak lama mencari energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan, sehingga diharapkan dapat menggantikan, atau paling tidak mengurangi dominasi bahan bakar fosil. Beberapa contohnya adalah energi angin, energi air, energi matahari, energi panas bumi, bioenergi, dll. Namun sayangnya, teknologi ataupun efektivitas dari penggunaan sumber-sumber energi tersebut dirasa masih sangat kurang pada saat ini. Karena itulah, saat ini banyak dilakukan pengembangan terkait sumber-sumber energi terbarukan, dan yang saat ini menjadi perhatian untuk dikembangkan adalah bioenergi.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 2004 mendefinisikan bioenergi sebagai semua energi yang didapatkan dari biofuel. Sedangkan biofuel adalah segala macam bahan bakar yang diperoleh dari biomasa (makhluk hidup). Saat ini, biofuel diyakini sebagai salah satu cara alternatif terbaik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menggantikan bahan bakar fosil. Sejak awal pengembangannya sampai saat ini, sudah ada 3 generasi bioenergi yang dikenal di kalangan akademisi, bahkan diketahui sudah ada bioenergi generasi keempat yang pengembangannya masih sedikit sekali. Bioenergi generasi pertama adalah bioenergi berbasis makanan, dimana sumbernya mudah untuk diolah, seperti misalnya bioethanol dari singkong, jagung, dan ubi atau bioediesel dari kelapa sawit. Namun sayangnya bioenergi generasi ini terbentur dengan permasalahan energi vs pangan yang sudah banyak diisukan. Aplikasi bioenergi generasi ini juga membutuhkan lahan yang luas untuk penanaman sumber daya yang diperlukan, sehingga pada akhirnya kita malah harus menebangi hutan untuk membuka lahan.
Bioenergi generasi kedua adalah bioenergi berbasis bahan berselulosa seperti kayu dan limbah-limbah pertanian pasca panen. Berbeda dengan generasi pertama, bioenergi generasi kedua ini berbahan dasar bukan pangan, sehingga tak ada permasalahan energi vs pangan pada generasi ini. Bioenergi generasi ini sangat potensial dilakukan di Indonesia karena sebagai negara agraris di iklim tropis, sudah tentu akan banyak sekali tersedia sampah-sampah pertanian yang selama ini dibuang percuma. Dari data yang didapat, diketahui bahwa sampah dari lahan padi dan jagung saja mencapai 20 juta ton/tahun (Dr. Herri Susanto, 2010). Namun, masalah yang dihadapi oleh bioenergi generasi ini adalah kesulitan dan masih mahalnya proses yang dilakukan untuk mengolah bahan berselulosa ini, karena struktur polimernya jauh lebih panjang dibandingkan sumber-sumber bioenergi generasi pertama.
Kemudian, akhirnya dikembangkanlah bioenergi generasi ketiga. Bioenergi generasi ketiga, yang akan menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini, merupakan bioenergi berbasis alga. Apa itu alga? Masyarakat selama ini tidak begitu tahu tentang alga sehingga banyak yang tidak mengetahui potensi yang dikandungnya. Alga adalah organisme autotrof (produsen) layaknya tumbuhan, yang hidup di perairan laut atau tawar, namun tidak memiliki organ dengan perbedaan fungsi yang nyata. Alga bahkan dapat dianggap tidak memiliki “organ” seperti yang dimiliki tumbuhan pada umumnya seperti akar, batang dan daun, sehingga disebut juga dengan tanaman tingkat rendah. Secara sederhana, alga dikelompokkan dalam 2 kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu mikroalga atau alga yang berukuran renik, dan makroalga atau alga yang dapat dilihat dengan mata telanjang dan biasa kita sebut sebagai rumput laut. Saat ini, mikroalga lebih banyak diaplikasikan untuk produksi biofuel dibandingkan makroalga, disebabkan strukturnya yang lebih sederhana dan hasilnya yang juga lebih banyak. Pengembangannya sekarang banyak dilakukan dalam skala lab dan industri dengan menggunakan bioreaktor atau dapat pula dikembangbiakkan di dalam kolam terbuka (open pond).
 |
Gambar 2. Kultivasi Mikroalga dalam Fotobioreaktor
Sekarang, mari kita melihat sama-sama potensi yang dimiliki mikroalga sehingga sumber daya yang satu ini layak digunakan sebagai bioenergi. Yang pertama tentunya adalah kandungan menakjubkan yang dikandungnya. Mikrolga memiliki kandungan minyak yang sangat tinggi, yaitu bisa mencapai 40-85% dari berat kering (Borowitzka, 1998), sehingga sangat berpotensi diolah menjadi biodiesel. Kandungan minyak ini jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan minyak pada kelapa sawit yang selama ini menjadi primadona biodiesel. Kandungan minyak kelapa sawit hanyalah 20% (www.popularmechanics.com). Disamping itu, kandungan karbohidrat dan protein dari mikroalga pun tak kalah kaya. Walaupun berukuran renik, mikroalga memiliki potensi kandungan yang melebihi tumbuhan-tumbuhan tinggi di daratan, hal ini karena mikroalga merupakan tumbuhan pendahulu (ancestor) dari tumbuhan-tumbuhan tingkat tinggi yang ada saat ini, sehingga potensi yang ada pada tumbuhan-tumbuhan tinggi tersebut kurang lebih dimiliki pula oleh mikroalga. Hal ini diperkuat dengan fakta yang disebutkan dalam sebuah artikel bahwa mikroalga adalah tumbuhan yang paling efektif proses fotosintesisnya. Hal ini karena mikroalga mampu mengoptimalkan sinar matahari dalam proses fotosintesis, walaupun sinar matahari terhalang oleh permukaan air (Michael Briggs, 2004). Kandungan-kandungan yang dimiliki alga ini nantinya dapat ditransformasi menjadi berbagai bentuk bioenergi seperti biodiesel, biometanol, bioethanol, biobuthanol, dsb.
Potensi kedua yang dimiliki alga adalah kemampuannya untuk tumbuh dengan cepat sehingga dapat menghasilkan produk minyak lebih banyak dibandingkan sumber lainnya dalam perbandingan yang sama. Dalam kondisi optimum, mikroalga dapat membelah beberapa kali dalam sehari dan dapat memproduksi paling sedikit produk minyak 15 kali lebih banyak perhektarnya dibandingkan produk minyak dari tanaman-tanaman seperti kelapa sawit, kacang kedelai atau jarak. Mikroalga dapat memproduksi 5000 sampai 50.000 galon perhektar pertahunnya. Bahkan, berdasarkan data perbandingannya dengan minyak bumi, ternyata potensi mikroalga masih lebih besar. Pada 1 hektar ladang minyak bumi, rata-rata hanya bisa disedot 0,83 barel minyak per hari, sampai kemudian habis dan tak berproduksi lagi. Sedangkan pada luas yang sama, budidaya mikroalga bisa menghasilkan 2 barel minyak perhari (Mujizat Kawaroe, 2008).
Setelah membahas kedua potensi yang dimiliki mikroalga, marilah kita membahas keuntungan-keuntungan apa saja yang akan kita dapat dengan mengolah sumberdaya ini dan mengapa teknologi biofuel generasi ketiga ini sangat layak diimplementasikan di Indonesia. Selain perolehan biofuel yang merupakan sumber energi ramah lingkungan, ada banyak keuntungan sampingan yang akan kita dapat dari pemanfaatan mikroalga. Keuntungan pertama adalah potensinya dalam menyerap karbon dioksida dan berbagai polutan lainnya. Peran alga sebagai produsen yang melakukan fotosintesis tentunya tak boleh kita lupakan. Saat melakukan fotosintesis, mikroalga membutuhkan sumber karbon anorganik yang berasal dari udara, dan sumber utamanya tentunya adalah karbon dioksida. Tak hanya itu, mikro alga juga memiliki potensi yang besar untuk menyerap gas nitrogen oksida (N2O) sebagai salah satu gas rumah kaca yang ternyata 296 kali lebih berbahaya dibandingkan karbon dioksida (U.S. Environmental Protection Agency, 2006). Dengan begitu, proses produksi alga secara tidak langsung membantu mengurangi kandungan gas-gas rumah kaca di atmosfer
Keuntungan yang kedua adalah dari segi lahan dan nutrien untuk mikroalga tumbuh. Telah disebutkan bahwa alga merupakan organisme perairan sehingga lahan yang dibutuhkan untuk mengembangbiakkannya adalah air. Tetapi, air yang mereka butuhkan tidaklah selalu air bersih, karena mereka bisa tumbuh bahkan di air yang tercemar sekalipun. Saat ini, sudah ada banyak penelitian untuk membiakkan mikroalga di air limbah organik. Di Indonesia, penelitian sejenis yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan limbah industri tahu. Disinilah kelebihan mikroalga dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi, mereka bisa hidup dengan menggunakan air tercemar, dan karena kesehariannya memang tumbuh di air, mereka tak memerlukan asupan air setiap hari layaknya tumbuhan tingkat tinggi. Disamping itu, pembiakkan alga juga tidak membutuhkan tanah untuk tumbuh. Karenanya tak diperlukan proses pembukaan lahan hutan untuk budidaya alga seperti halnya tanaman lain. Artinya, budidaya alga tak akan berdampak buruk bagi ekosistem hutan yang selama ini juga menjadi salah satu kontroversi penggunaan bioenergi, seperti yang terjadi pada kasus lahan kelapa sawit. Dikarenakan mereka juga tidak membutuhkan herbisida dan pestisida (Brennan and Owende 2010), menjadikan alga sebagai sumberdaya potensial untuk produksi biofuel yang tidak akan merusak lingkungan. Menakjubkan bukan? Selama ini alga tidak banyak dilirik sebagai sumber daya, sehingga potensi-potensi tersembunyinya semacam ini belum banyak diketahui masyarakat.
Keuntungan yang ketiga adalah potensinya yang bisa digunakan dalam berbagai industri. Jadi, setelah biomasa mikroalga diambil minyaknya untuk dijadikan biodiesel, ampas alga yang tersisa masih bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal. Kandungan karbohidratnya yang tinggi bisa dimanfaatkan menjadi biofuel jenis lain, yaitu bioethanol. Sedangkan kandungan protein dan nutrien lainnya yang tak kalah tinggi bisa diolah menjadi produk makanan, makanan suplemen, obat-obatan, bahan tambahan industri, kosmetik, makanan ternak dan pupuk. Sehingga, industrialisasi mikrolga sebagai biofuel tak akan menyisakan limbah yang berarti, karena semua bagian alga tak ada yang terbuang percuma (FAO, 2010). Dengan begitu, tentunya bila kita bisa secara paralel membuat produk-produk samping selain biofuel dari alga, keseluruhan prosesnya akan menjadi lebih ekonomis, tak bergantung dengan bahan bakar fosil, dan berpotensi menghasilkan lapangan-lapangan pekerjaan baru, dengan efek positif pada keseluruhan aspek keberlanjutannya (Mata, Martins et al. 2010).
Nah, kita sudah sama-sama melihat kehebatan dan potensi yang dimiliki teman kecil kita ini. sekarang pertanyaanya, sejauh mana teknologi mutakhir ini bisa diimplementasikan di Indonesia? Untuk urusan potensi teknologi, Indonesia memang masih kalah jauh dibandingkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan banyak dari negara Eropa dalam hal teknologi pembiakkan mikroalga. Namun, yang perlu kita ingat adalah, Indonesia memiliki sumberdaya mikroalga yang sangat kaya mengingat kita merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati nomor 2 setelah brazil seperti yang tertulis dalam buku Conservation International. Ada banyak sekali jenis mikroalga yang bisa dikembangkan menjadi biofuel di Indonesia, contohnya dari genus chlorella, scenedesmus, spirullina, anabaena dan masih banyak lagi. Disamping itu, Indonesia memiliki intensitas cahaya matahari yang sangat tinggi mengingat kita merupakan negara tropis yang terletak di tengah-tengah khatulistiwa. Bahkan, seorang petinggi Iran pernah berkata pada Direktur Puslit Bioteknologi LIPI, Prof Dr Bambang Prasetyo dalam suatu kesempatan bahwa Indonesia memiliki potensi fotosintesis tiga kali lipat dibandingkan di Iran (www.biotek.lipi.go.id). Dengan begitu, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang berpotensi memproduksi mikroalga-mikroalga tersebut dalam skala besar untuk pemenuhan target biofuel nasional. Rintangan yang menghadang di depan mata untuk mencapai teknologi ini adalah biaya produksinya yang masih mahal. Selain itu, negara ini tentunya juga masih harus melakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan proses pembiakkan mikroalga yang paling efektif. Tantangan-tantangan tersebut memang saat ini terasa berat, tapi bukan berarti teknologi baru yang sangat potensial ini bisa disia-siakan begitu saja. Sekali kita bisa menguasai teknologi ini, akan banyak permasalahan bangsa ini yang terselesaikan, terutama krisis energi dan krisis lingkungan. Ibaratnya, apalah yang bisa dilakukan seorang bayi yang baru lahir? Bila belum apa-apa kita sudah menyerah membesarkan bayi tersebut, kita tak akan pernah melihat keajaiban apa yang bisa dilakukannya di masa mendatang. So, are you ready?
Sumber :
|